Sabtu, 22 Oktober 2011

KISAH PEDAGANG PANGSIT PASAR ALAI

Alai? Ya, mungkin kita sering mendengar istilah alay (anak layangan), tapi di sini Alai adalah sebuah nama pasar di Kota Padang, Sumatera Barat. Saya sekarang tinggal di Padang; meninggalkan keluarga tercinta di Bengkulu, demi menuntut ilmu di Program Studi Pendidikan Dokter FK UNAND. Kalau teman-teman yang lain banyak yang ngekos, saya alhamdulillah tinggal di rumah peninggalan almarhum eyang saya.

Nah, karena anak-anak eyang saya tidak ada yang tinggal di Padang, maka dititipkanlah rumah ini kepada keluarga tukang mie pangsit yang cukup dekat dengan almarhum eyang saya. Keluarga itu terdiri dari seorang bapak, ibu, dan EMPAT anak laki-laki. Yang dua tertua sudah bekerja; sebagai anggota gegana. Yang nomor tiga masih kelas 1 SMA, sementara yang bungsu baru kelas 1 SD.

Suatu malam di bulan Ramadhan, selepas ibadah tarawih, saya makan malam. Sendiri, sambil memandangi alias menonton TV. Nah, datanglah si ibu (saya memanggilnya Bu Lek Sum) dari paviliun, sekedar melihat saya. Lantas, mengobrollah kami...

Dari obrolan itu, saya baru mengetahui kisah hidupnya. Cukup rumit.

Ia dibesarkan oleh seorang nenek (yg sebenarnya bukan ibu dr bapak/ibunya). Hidupnya boleh dibilang seperti kisah2 di sinetron. Ibu-bapaknya bercerai ketika ia masih kecil; dan bahkan Ia tidak bisa mengingat kejadian itu. Neneknya itu baru memberitahukan perihal itu setelah si Bu Lek menikah dan punya dua anak; sebelum si nenek dijemput Izrail. Karena istri baru bapaknya menginginkan anak, sementara ibunya berpesan kpd si nenek agar Si Bu Lek jangan smp jatuh ke tangan istri suaminya, maka tinggalnya kerap berpindah-pinda; menghindari kejaran si bapak. Itu sebabnya pendidikannya hanya sebatas SD, itu pun tidak sampai lulus.

Untuk membantu neneknya, dari kecil ia telah bekerja. Apa saja yg bisa dikerjakan. Berkebun, mengasuh anak tetangga, dan sebagainya. Di tengah kesulitan ekonomi yg menghimpitnya, sebagian pendapatannya ia sisihkan sekedar untuk biaya mengaji, agar tidak buta huruf kitab suci Al Quran.

Perjalanan hidup mengantarkannya ke Padang. Berbekal sedikit kepandaian memasak, ia bersama suaminya menjual mi pengsit ayam untuk menyambung hidup.

Dari mi pangsit ayam inilah, keempat putranya bisa sekolah, dan dua yang tertua telah bekerja sbg anggota POLRI tanpa sogok.
Dari mi pangsit ayam inilah, putra tertuanya selalu menjadi juara kelas.
Dari mi pangsit ayam inilah, mereka memperbaiki hidup.
***


Saya sendiri sangat tertampar mendengar cerita itu. Bagaimana tidak, orangtua saya mempunyai latar belakang pendidikan yg lebih baik, namun pencapaian saya hanya sebatas ini; hanya sebatas mahasiswa pemalas yang jauh dari prestasi. Si Bu Lek dan suaminya telah mengukir prestasi yang besar; yakni memperbaiki kehidupan anak-anaknya HANYA dengan berjualan mi pangsit itu, yang kalau kita pikir penghasilannya tidak seberapa. Sementara, berapa banyak orang kaya yang anaknya melepas semangat juang; terlarut hanyut dalam kekayaan bapaknya. Memandang sekolah seperti menarik napas saja; hanya sebuah rutinitas. Bukan batu loncatan untuk meraih impian.

Di sini saya cukup tersadarkan betapa Si Bu Lek sangat keras terhadap anaknya. Setiap petang ia kawal anaknya mengaji; agar tidak buta kitab suci. Setiap malam ia tempel anaknya; memastikannya belajar. Karena ia sangat sadar betapa pendidikan bisa merubah penghidupan dan kehidupan.

Dan di sinilah kita lalai . . .

Saya malu karna telah lalai. Perlu berbulan2 bagi saya untuk memberanikan diri menulis lagi karena realita ini. Realita bahwa saya gagal memanfaatkan fasilitas yg ada dg maksimal. Seringkali terlintas ingin mengulang waktu; memperbaiki kelalaian terdahulu. Akhirnya, saya menyadari kalau setiap tarikan napas saat ini adalah kesempatan kedua, ketiga, ataupun keempat bagi saya untuk membuat lubang di masa lalu menjadi galian pondasi untuk bangunan yang lebih tinggi. Show must go on. Life must be run.

Sudah saatnya kita berjanji (dan menepatinya) kepada diri sendiri, untuk memanfaatkan setiap detik kita untuk bergerak, keep moving forward. Karena, dg tetap bergerak itu Si pedagang pangsit yang kini sedang berjualan di Pasar Alai telah mengukirkan karyanya; memperbaiki kehidupan untuk anaknya.

Dengan semua fasilitas ini, apa karya kita? Apa yang bisa kita perbaiki?
Maka nikmat Tuhanmu yang mana lai yang kamu dustakan?

Lets make a little space, together, start from ourselves....
.
.
.
(goresan kacau ini hanyalah usaha untuk berbagi inspirasi, a little effort to make a little space.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar