Sabtu, 17 September 2011

Nenekku Super Star , , , KITA???

lagi-lagi copas nih,, hahaha..
tp gapapa lah, yang penting isinya..
selamat menginspirasi diri sendiri ;)
***
oleh Ietje S Guntur pada 22 Desember 2010 jam 20:22
Dear teman dan sahabat semua…

Di hari yang berbahagia ini...di hari peringatan HARI IBU, 22 Desember 2010, ijinkan saya untuk berbagi pengalaman tentang ibu saya .
Catatan ini saya buat beberapa tahun lalu, tetapi saya pikir masih bisa dibagikan sebagai kenang-kenangan dan tanda bakti saya kepada ibu tercinta.

Selamat Hari Ibu bagi semua yang memperingatinya...

Jakarta, 22 Desember 2010

Salam sayang,

Ietje S. Guntur





Dear Allz...

Met pagi...siang...or sore...( tergantung wilayahnya yaaa...hehehe...)...
Mau cerita sedikit niiih...mengenai seseorang yang menjadi idola seumur hidup saya... Seorang wanita, yang mungkin jadi gambaran...seperti apa sesungguhnya wanita abad 21 ini...

Hari Sabtu , tanggal 21 April kemarin, kebetulan saya di Bengkulu. Menemani ibu saya yang sedang sakit. Sakit ibu saya ini termasuk sakit yang istimewa, karena seumur hidup saya kenal beliau...(ya...seumur hidup saya ini)...nyaris beliau tidak pernah sakit. Paling-paling sakitnya kalau melahirkan anak-anak...saya dan lima adik saya. Dan pernah juga sekali, duluuuu....banget, ketika saya masih kecil, ibu saya pernah operasi (maaf) ambeien....( biasalah...penyakit wanita kan ?). Juga setahun lalu, beliau terpaksa dioperasi lagi, karena usus buntunya pecah...empat tahun sebelumnya, dan selama itu tidak ada keluhan apa pun . Jadi seumur hidup beliau berpuluh tahun ini , saya selalu melihat beliau bergerak kian kemari , melakukan segala aktivitas dari mulai subuh sampai saya tertidur lagi. Kalau mengikuti istilah anak saya, “Eyang itu seperti angin puyuh...yang selalu berputar kemana-mana...”. Hmm...

Bukan karena ibu saya adalah ‘ibu’ yang melahirkan saya, sehingga saya sangat bangga terhadap beliau. Tapi seandainya pun ibu saya itu, bukan ibu saya, pasti saya akan takjub dan bangga pada beliau. Bagaimana tidak bangga. Ibu saya ini adalah manusia yang paling kreatif yang pernah saya kenal. Kendati pendidikan beliau , katanya, agak terbatas ( beliau alumni Van De Venter School, Solo, sekitar tahun 40-an awal), tapi beliau memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mendidik orang dan juga dalam menjalankan berbagai usaha. Sejak masih remaja, ibu saya sudah menjadi guru, untuk mata pelajaran menjahit dan bahasa Inggris. Padahal menurut pengakuannya, pada jaman itu beliau masih belajar juga bahasa Inggris dan bahasa Melayu ( mungkin sekitar tahun 40-an awal juga) karena bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Jawa dan Belanda.

Kemudian, sekitar awal tahun 50-an, beliau membuka sekolah menjahit, termasuk yang pertama di Medan. Sekolah ini kemudian dipindahkan ke rumah eyang saya, dan masih terus berjalan hingga saya lulus SD. Ibu saya sempat mengajar hingga sekitar tahun 1964, sebelum beliau harus mengikuti ayah saya yang dipindahtugaskan ke kota Padang Sidempuan, di pedalaman Tapanuli Selatan. Dan selanjutnya sekolah itu dikelola oleh eyang putri saya. Kadang-kadang ibu saya masih mengajar juga kalau kebetulan beliau sempat datang ke Medan.

Selama beliau belum pindah, dan semasa saya masih kecil dulu, ibu saya tidak pernah berhenti belajar ketrampilan, dan sesudahnya beliau selalu membuka kursus di rumah kami yang kecil. Saya ingat, di rumah saya pernah ada kursus membuat anyaman keranjang rotan, kursus membuat anyaman dari plastik, kursus memotong rambut dan membuat sanggul, kursus menjahit, kursus membordir, kursus memasak. Bayangkan saja, selama bertahun-tahun rumah kami selalu hiruk pikuk dan didatangi oleh berbagai kalangan yang ingin menimba ilmu dari ibu saya. Itu belum lagi diselingi dengan kegiatan sampingan lain, seperti menerima pesanan kue dan masakan untuk katering. Kadang menerima jahitan ( khusus daster dan kebaya...jauh banget yaa ?). Kadang merias penganten...hehehe....pokoknya heboh. Mabok gak punya ibu seperti ibu saya ?

Lama mengikuti ayah saya berpindah tugas dari Padang Sidempuan, kemudian ke Tanjung Balai, ke Pematang Siantar, menemani ayah saya sekolah di Sespimpol Lembang, dan kemudian tugas kembali di Medan, di Aceh, dan di Padang. Ibu saya selalu menyempatkan diri untuk mengajar, berbagi ilmu dengan orang lain, dan juga...hebatnya...tetap selalu menuntut ilmu apa saja. Yang paling beliau sukai adalah belajar bahasa asing, termasuk bahasa Arab dan Perancis, baik dari guru maupun belajar sendiri. Selain itu, tentu saja belajar masak masakan dari setiap daerah yang dikunjunginya. Khusus untuk bahasa asing ini, hingga bulan-bulan lalu sebelum sakit, ibu saya masih asyik belajar bahasa Jerman dan Itali, serta memperlancar bahasa Mandarin. Saya sendiri pasti ‘menyerah’ kalau disuruh belajar bahasa asing yang aneh-aneh. Tapi buat ibu saya, berbahasa ibaratnya menarik nafas saja...hehehe...

Bagaimana dengan kami, anak-anaknya, ketika beliau sibuk kesana-kemari ? Ada tahun-tahun ketika saya dan adik-adik terpaksa berpisah dari beliau. Karena kami harus tetap sekolah di kota Medan. Tapi dari jarak sejauh itu pun beliau tetap memonitor kami. Surat-surat beliau, tidak pernah putus seminggu sekali pasti datang ke rumah. Belum lagi makanan siap santap seperti rendang atau keringan teri kacang kesukaan kami yang selalu dipaket atau dititipkan kepada orang-orang yang datang berkunjung. Juga pakaian untuk kami, hasil jahitan tangan beliau sendiri, yang tidak pernah lalai dikirimkan oleh beliau, beberapa bulan sekali.

Hingga kami remaja, kami nyaris tidak pernah membeli pakaian jadi di toko. Kecuali kaos untuk olahraga. Seluruh baju yang kami kenakan, adalah karya ibu kami. Dan sesudah lulus SD, kami juga jadi keranjingan menjahit pakaian sendiri. Oya...kebaya yang saya kenakan ketika menikah dulu pun merupakan hasil jahitan ibu saya. Juga daster yang dikenakan anak saya sekarang, adalah hasil karya ibu saya. Bagaimana saya tidak menyebut beliau ‘hebat’??? Mmm...satu lagi...dari keahlian beliau membuat pola yang diciptakannya sendiri, ibu saya sempat juga jadi ‘seleb’...menjadi pengisi acara di TVRI Medan...khususnya untuk urusan jahit menjahit...Wooww ! Seru khan ?

Di tengah kesibukannya mengurus organisasi wanita , di mana ayah saya bertugas, beliau tetap sempat menjahit baju, membuat donat ( dengan 1001 resepnya...yang akhirnya membuat saya mabok kepayang karena selalu jadi kelinci percobaan ibu saya...)...dan juga menerima pesanan katering dari teman-temannya ...hampir setiap minggu. Atau sesekali menerima pesanan makanan karena ada tamu-tamu pejabat dari Jakarta. Dan untuk ini beliau sangat ahli mengerahkan SDM, termasuk tetangga, teman-teman, ibu-ibu dari organisasi, pembantu dan tetangganya, serta anak-anaknya (termasuk saya dan adik-adik). Bagi saya, membantu ibu memasak untuk katering merupakan perjuangan tersendiri, karena saya selalu mabok kalau mencium bau bawang dan minyak di penggorengan...hehehe...Tapi kalau ingat bayarannya...waaaw...jadi semangat lagi deh. Memang....ibu saya tidak hanya memanfaatkan tenaga kami, tapi dengan adil beliau juga membayar kami sesuai dengan prinsip bisnis...Bagi ibu saya, ada kalanya anak menjadi anak, tapi ada kalanya juga anak adalah mitra usaha...

Sebetulnya...masih banyak lagi kegiatan ibu saya, yang kalau dibuatkan daftarnya...bisa sangat panjaaaang. Yang jelas...sepanjang hari beliau, selalu diisi dengan berbagai kegiatan yang beraneka, dan yang jelas...selalu bermanfaat. Beliau tidak pernah bisa diam, sekejap pun. Kalau duduk di ruang makan, beliau sibuk membuat program kerja dan juga menghitung budget ini dan itu. Kadang beliau juga menyempatkan diri menulis resep makanan dan artikel untuk majalah organisasi. Kalau duduk di depan rumah, tangan beliau selalu bergerak...merajut taplak ataupun tutup dispenser aqua. Kalau duduk di teras belakang, beliau membaca, mengurusi kelinci saya dan memberi makan burung-burung gereja di halaman. Kalau melihat tukang sayur mampir, beliau mengajak ngobrol dan memberi saran bagaimana cara berjualan yang menarik pelanggan. Kalau pengangkut sampah lewat di depan rumah, beliau akan menyiapkan air minuman di botol. Kalau didatangi tukang ngamen, beliau akan menyuruh tukang ngamen menyanyikan lagu dengan nada yang enak dan lirik benar, baru kemudian memberikan uangnya...hehehe...

Hari Sabtu, tanggal 21 April kemaren, saya duduk di sebelah beliau yang terbaring di ranjangnya. Menyuapi telur rebus setengah matang untuk sarapan paginya. Saya memandang wajahnya, yang sekarang tampak tirus dan agak pucat. Sekilas kami berbagi cerita. Dan beliau masih selalu mengingatkan, bahwa saya adalah anaknya yang paling bandel (hiikss...tapi kata beliau bandel itu pertanda sehat dan cerdas...hehehe). Kata beliau , saya juga selalu membuatnya tertawa dengan segala ocehan dan cerita-cerita saya yang kadang memang tidak masuk akal...( Masa siiih ? Alhamdulillah...). Setiap menceritakan masa kecil saya, beliau selalu bersemangat. Pun pagi itu...ketika penyakit beliau sudah mulai menggeroti daya tahannya... Semangatnya tetap menyala.

Saya menutup hari itu dengan penuh syukur. Bersyukur...karena saya memiliki ibu, seperti ibu saya. Bersyukur...karena Allah SWT telah mengijinkan beliau mendampingi dan selalu mencintai saya selama tahun-tahun yang bergulir mengisi hidup saya...Bersyukur...karena semangatnya selalu menyala dan tetap hangat di hati saya.

Semoga...semangat itu tak pernah padam...di hati saya, ataupun di hati orang-orang pernah mengenalnya....


Jakarta, 23 April 2007
Di suatu siang yang mendung....tapi tetap hangat...


Ietje S. Guntur


Catatan khusus :
Ibu saya tercinta meninggal dunia pada hari Jum’at, 4 Mei 2007 dalam usia 82 tahun, 7 bulan. Hanya dua minggu setelah kami berbincang-bincang akrab dan penuh inspirasi. Selamat jalan, Ma...I love U...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar